Mapaddegat, Mentawai — Di tengah bisu dan bungkamnya aparat penegak hukum serta lembaga lingkungan hidup, penambangan pasir liar di Pantai Mapaddegat terus berlangsung hampir setiap malam. Deru mobil pick-up dan suara hiruk pikuk para penambang menjadi lagu malam yang terus menghantui warga pesisir—menyisakan jejak kehancuran di salah satu kawasan wisata unggulan Kepulauan Mentawai.
Diduga kuat, aktivitas ini berlangsung di bawah bayang-bayang perlindungan oknum berpengaruh. Terbukti, meski penambangan ini terang-terangan melanggar hukum dan merusak lingkungan, tak ada langkah tegas dan berkelanjutan yang diambil oleh aparat penegak hukum. Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan pun tak berdaya. Rencana pemasangan plang larangan sekadar menjadi wacana tanpa realisasi.
Ironisnya, suara rakyat yang terdampak hanya bisa memekik tanpa kuasa. “Hancurkanlah pantai itu… habiskanlah…!” teriak warga dalam nada getir, tiap kali mendengar suara kendaraan pengangkut pasir menembus sunyi malam. Mereka hanya bisa menyaksikan pantai mereka terkikis, sementara tanggul penahan abrasi telah roboh—tak mampu lagi melindungi garis pantai yang semakin tergerus.
Tahun lalu, tiga penambang ilegal sempat diamankan dan dijatuhi vonis tujuh bulan penjara dan denda lima belas juta rupiah subsider dua bulan kurungan. Namun, penegakan hukum berhenti di situ. Tak ada efek jera. Penambangan kembali marak, hanya berganti wajah pelaku.
“Seberapa kuat oknum yang memback-up perusakan pantai ini?” demikian pertanyaan menggantung yang terus bergema di masyarakat. Di balik kerusakan lingkungan ini, siapa yang sesungguhnya menikmati keuntungan?
Ketua Yayasan Nusa Tebai Mentawai, M. Haris, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengaku sudah berulangkali menyuarakan kerusakan ini ke sejumlah kepala OPD dan aparat hukum di Mentawai. Namun hingga kini, tak satu pun yang merespons dengan tindakan nyata.
Pantai Mapaddegat, yang dulu jadi magnet wisatawan, kini kehilangan pesonanya. Kerusakan ekologis bukan hanya memukul sektor pariwisata, tapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat pesisir.
Jika aparat terus bungkam, dan negara memilih absen, lalu siapa yang akan menyelamatkan Mapaddegat?
Bersambung…
(Team Redaksi)