
Mentawai – Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Kepulauan Mentawai dinilai lalai dalam menjalankan kewajiban mereka terhadap keterbukaan informasi publik. Hal ini terungkap setelah Aliansi Jurnalis Anti Rasuah (AJAR) mengajukan permohonan informasi kepada beberapa OPD, antara lain Dinas Perikanan, Bappeda, dan Inspektorat.
Dari tiga OPD tersebut, hanya Dinas Perikanan yang memberikan jawaban. Namun, balasan yang diberikan dinilai asal-asalan dan tidak sesuai dengan substansi permintaan informasi. Sementara itu, Bappeda dan Inspektorat sama sekali tidak menanggapi permohonan informasi, bahkan setelah AJAR melayangkan surat keberatan kepada Sekretaris Daerah selaku atasan PPID kedua instansi tersebut.
“Kelalaian ini jelas menunjukkan minimnya pemahaman aparatur pemerintah terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Setiap badan publik wajib memberikan informasi yang diminta masyarakat, bukan justru menutup diri,” tegas perwakilan AJAR, Moinoto Lase.
AJAR menilai, pembiaran terhadap kewajiban hukum ini bukan hanya mencerminkan lemahnya pengetahuan OPD tentang hak publik, tetapi juga menunjukkan sikap abai terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas. “Setiap kelalaian dan kebutaan akan hukum pasti ada konsekuensinya,” tambahnya.
Aktivis keterbukaan informasi, Roni Saputra, menegaskan bahwa undang-undang telah memberikan ruang jelas bagi publik untuk meminta informasi, dan badan publik tidak boleh mengabaikannya.
“Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sudah berlaku lebih dari 15 tahun. Jadi alasan ketidaktahuan atau kelalaian tidak bisa lagi ditoleransi. Jika dibiarkan, pelanggaran semacam ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah,” ujarnya.
Senada dengan itu, pakar hukum administrasi negara Dr. Maya Puspita, SH., MH. menilai, setiap OPD seharusnya menempatkan keterbukaan informasi sebagai bagian dari pelayanan publik. “Keterbukaan bukan sekadar kewajiban moral, tetapi perintah hukum. Apabila OPD tidak menjalankannya, konsekuensinya bisa sampai pada sanksi administratif, bahkan berpotensi menjadi dasar penilaian maladministrasi,” jelasnya.
Sesuai prosedur, setelah menunggu 30 hari tanpa tanggapan, AJAR akan menindaklanjuti persoalan ini dengan melaporkan ke Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa hak publik atas informasi benar-benar dihormati dan dipenuhi.
“Komisi Informasi adalah jalur resmi untuk menyelesaikan sengketa informasi. Kami ingin memberikan pesan bahwa keterbukaan bukan sekadar jargon, tapi kewajiban hukum yang harus dijalankan,” tutup Lase. …….Bersambung. (Team)