Sumbarinvestigasi.com-Pahlawan nasional adalah pejuang terdahulu dalam membela negeri ini dari penjajahan,nyawa,darah taruhannya serta Belum ada perhatian lebih tepatnya kepedulian pemerintah Sumatera Barat terhadap perawatan makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.
Tutur kata yang tersirat dalam hati cuman bisa berkata Jangankan bantuan pemugaran, Membantu biaya perawatan pun tak ada dari Gubernur ke Gubernur begitu saja ”sahut Abdul Muthalib salah satu keturunan Imam Bonjol yang menjaga makam itu keawak media.
“Hanya yang kami terima bantuan hanya dari Pemkab Minahasa. Itu pun hanya satu juta rupiah satu bulan,cuman cukup bayar listrik Kadang pun tidak rutin, ”Ujar Abdul Muthalib.
Wartawan senior Ben Tanur yang merupakan putra asli Payakumbuh ini tak kuasa menahan haru cuman bisa menziarahi makam Pahlawan Nasional itu,ke tanah Sulawesi.“kepengen menangis saya rasanya yang hanya Bisa menziarahi Pahlawan Nasional asal daerah Sumbar Saya kirim Al-fatihah agar Tuanku Imam Bonjol ditempatkan di SorgaNYA Allah SWT, ” kata pendiri Tan Malaka Institute itu.
Wartawan senior ini hanya bisa menyampaikan hal ini kepada Gubernur Sumbar Mahyeldi dan Wakil Gubernur Audy Joinaldi. “Bisa saya sampaikan langsung bisa lewat media saya sendiri,” kata pria 55 tahun asal Desa Padangjopang, Kabupaten 50 Kota ini.
Cukup lama mantan anggota Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) Pemilihan Umum Legislatif tahun 1999 itu berada di makam tokoh nasional itu. Ben Tanur sempat duduk di batu pinggir kali tempat Tuanku Imam Bonjol melaksanakan ibadah shalat.
“Terimakasih kepada Pemkab Minahasa dan masyarakat Katolik yang berada di sekitar makam Tuanku Imam Bonjol, ” ujar Ben yang didampingi Sevry Nelwan, Jeff Sangian dan Dolfi Mundung wartawan kabarpolisi Media Group Sulawesi Utara.
“Rasa senasib karena dijajah Belanda menyebabkan lahirnya Indonesia lewat perjuangan panjang yang diarsiteki empat serangkai pendiri Republik Indonesia ; Soekarno, Tan Malaka, Syahir dan Hatta, ” ujar ayah tiga anak ini.
Ben mengetuk hati pemerintah khususnya Departemen Pendidikan dan kebudayaan untuk tetap menomorsatukan pelajaran sejarah bangsa. Khususnya lahirnya Indonesia.
“Kepada generasi muda saya ingatkan Republik Indonesia bukan tiba-tiba ada. Bukan hadiah dari penjajah. Republik ini hasil perjuangan panjang pendiri bangsa. Jutaan rakyat Indonesia mati terbunuh untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan kini kalian berdiri bebas di atas Tanah Air ini ”
Asal Sumbar
Nakam pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol. Makam yang berlokasi di Jalan Pineleng-Kali, Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, itu menjadi salah satu objek wisata andalan bagi pengunjung dari luar wilayah Sulawesi Utara.
Menurut penjaga makam, Abdul Mutalib, kondisi makam memang cukup menarik perhatian wisatawan dari beberapa wilayah di luar Sulawesi Utara. Bahkan, pengunjung mancanegara pun sering kali mampir untuk melihat tempat peristirahatan terakhir sang pahlawan.
Selain masyarakat biasa, beberapa presiden Indonesia dan tokoh-tokoh penting di pemerintahan sempat mengunjungi makam Tuanku Imam Bonjol.
Abdul menjelaskan, Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid dan Presiden Indonesia kelima Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah mampir ke pekuburan berbentuk rumah adat Minangkabau berukuran 15 meter kali 7 meter itu.“Beberapa sanak saudara Beliau pun terkadang masih ke sini untuk menengok,” kata Abdul.
Ketika memasuki bangunan pemakaman Tuanku Imam Bonjol, akan terlihat sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin bergelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional.Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol Sumatera Barat, wafat tanggal 6 November 1854 di Lota Minahasa. Imam Bonjol meninggal dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan Tanah Air, bangsa, dan negara.
Terdapat sebuah lukisan besar yang memperlihatkan Tuanku Imam Bonjol sedang menunggangi kuda dan bersiap untuk menyerang, di dinding sebelah makam. Jika ingin melihat tempat Tuanku Imam Bonjol melaksanakan shalat, pengunjung bisa melangkahkan kaki untuk menuruni tangga menuju pinggir sungai. Sesampainya di ujung, akan terlihat bangunan bertuliskan Tempat Ibadah Tuanku Imam Bonjol.
Di tempat tersebut terdapat sebuah batu besar yang dulunya digunakan ulama itu untuk shalat. Bagi wisatawan yang ingin shalat di sana, terdapat sebuah mushala yang berada di ruangan sebelahnya.
Akhir Derita Tuanku Imam Bonjol di Tanah Pembuangan Beberapa tahun sebelum meninggal, Imam Bonjol diasingkan oleh pemerintah kolonial. Ia merasakan pembuangan di umur yang sudah 70. tirto.id – Demi menggebuk perlawanan Tuanku Imam Bonjol yang dianggap terpengaruh Wahabi di Sumatra Barat, ribuan aparat militer kolonial pun dikerahkan ke sana.Tak terkecuali Letnan Kolonel Andries Victor Michiels. Veteran Waterloo ini lalu mengambil alih komando tentara Belanda di Sumatra Barat dari Letnan Kolonel Cleerens. Setelah Michiels memimpin tentara, seperti ditulis Elizabeth Graves dalam Asal Usul Elite Minangkabau Modern (2007), “[Michiels] memutuskan sendiri untuk meneruskan perang dan menjelang Agustus 1837 memuncak sampai pendudukan Benteng Paderi yang terakhir, yaitu Bonjol.”
Menurut Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki dalam Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan (1951), militer Belanda memimpin pengepungan benteng Bonjol. Meski sempat lolos dalam sebuah pengepungan, Imam Bonjol akhirnya tertawan pada 28 Oktober 1837.
Setelah diringkus militer kolonial, Tuanku Imam Bonjol dibawa sejauh mungkin dari Sumatra Barat. Setelah ditempatkan di Cianjur, sempat juga dirinya dipindah ke Ambon. Sebelum akhirnya pada 1841 dibuang ke Keresidenan Manado. Tepatnya di daerah yang kini disebut Minahasa.
Dia tiba pada pertengahan tahun. Bersama anak-anaknya: Sutan Saidi, Abdul Wahid dan Baginda Tan Labi. Seperti dikisahkan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol (2004: 157) yang aslinya ditulis Naali Sutan Chaniago dan dialihbahasakan oleh Sjafnir Aboe Nain, sebelum bertolak ke Manado, seorang Kapitan Melayu di Ambon memberi keterangan kepada pengikut Imam Bonjol soal Manado yang bukan negeri Islam dan banyak babi berkeliaran di sana.
Pesan si kapitan: jika bisa, jangan mau pergi ke Manado. Namun pemerintah kolonial lah yang punya kuasa soal ke mana Imam Bonjol harus dibuang. Kapal yang ditumpangi Imam Bonjol menuju tanah pembuangan singgah di Ambon dan sempat merapat di Kema, Minahasa bagian selatan.Setelahnya berlayar lagi ke bagian utara, yaitu kota Manado, yang merupakan pusat Karesidenan Manado. Di Minahasa ini, sudah dibuang pula Kiai Modjo beserta pengikutnya di pinggir Danau Tondano.
“Tuanku Imam tidak ditempatkan bersama dengan rombongan Kiai Modjo di Tondano dikarenakan alasan bahwa akan sangat berbahaya jika kedua tokoh tersebut ditempatkan di lokasi yang sama,” tulis Roger Kembuan dalam tesisnya, Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2015: 136-137).Pemerintah kolonial tentu berusaha membuat dua tokoh perlawanan kelas berat itu tidak berada dalam satu tempat. Setelah beberapa waktu di Manado, maka ditempatkanlah Imam Bonjol di luar kota Manado. Awalnya, Imam Bonjol dan pengikutnya ditempatkan di Desa Kombi, yang kini termasuk Kabupaten Minahasa, dekat dengan Danau Tondano.
Untuk bisa mencapai desa itu, seperti dicatat Roger Kembuan (hlm. 125), Imam Bonjol dan anak-anaknya harus berjalan kaki tiga hari untuk mencapai Desa Kombi dari kota Manado.
Tak semua jalan di Sulawesi Utara pada 1840-an bisa dilalui kereta yang ditarik sapi atau kuda. Dari kota pelabuhan Manado, tempat pembuangan sementara di Desa Kombi lebih jauh ke arah selatan ketimbang tempat pembuangan Kiai Modjo. Sekitar 50 km dari kota Manado.
Kemudian Imam Bonjol pindah di desa Lotta, Pineleng. Menurut Naskah Tuanku Imam Bonjol (hlm. 161-162), selama di pembuangan Imam Bonjol sempat membeli tanah untuk penghidupannya. Imam Bonjol merasa tidak nyaman beribadah di sekitar Kombi. Kemudian Imam Bonjol minta pindah dan akhirnya beli tanah di Pineleng.
Jarak Pineleng dengan kota Manado sekitar 15 km. Sementara pembungan Kiai Modjo—yang kini disebut Desa Jawa Tondano—jaraknya 30 km dari Manado. Di masa pembungan Imam Bonjol dan Kiai Modjo, daerah Minahasa masih didominasi budaya Alifuru.
Sebelum Kristen masuk dan kemudian dominan, agama lokal Alifuru merupakan agama terpenting. Islam yang dibawa Kiai Modjo hanya berjaya di desa Jawa Tondano.Bagi pemerintah kolonial, Minahasa pun jadi tempat pembuangan sempurna untuk ulama yang bersikap keras kepada pemerintah kolonial. Di sekitar tempat pembungan Imam Bonjol dan Kiai Modjo, terdapat veteran perang Jawa yang merupakan laskar-laskar Pasukan Tulungan pimpinan Mayor Tololiu Dotulong dan Kapiten Benjamin Thomas Sigar.
Pemerintah kolonial berusaha menjadi kawan baik bagi masyarakat setempat. Jadi sulit bagi Imam Bonjol dan Kiai Mojo memimpin perlawanan lagi di sana.
Mengislamkan Kopral KNIL
Imam Bonjol harus hidup jauh dari pengikutnya. Di tempat baru, Imam Bonjol tak punya pengikut seperti di Sumatra Barat. Namun, di dekade-dekade terakhir hidupnya, Imam Bonjol pun hidup dengan orang-orang yang berbeda kepercayaan padanya.
Kisah sukses Imam Bonjol terkait islamisasi adalah jadi mualafnya seorang kopral KNIL. “Sekitar tahun 1850, seorang kopral tentara (KNIL) Belanda bernama Apolos Minggu ditugaskan di Lotta,” tulis Sjafnir Abu Nain dalam Tuanku Imam Bonjol: Suatu Studi Sejarah Intelektual Islam di Sumatera Barat 1784-1832 (1988: 83).
Kopral ini dekat dengan orang penting di sekitar, seperti kepala distrik Mayor Parengkuan. Menurut catatan Sjafnir, sang kopral kawin dengan putri Mayor Parengkuan bernama Wihelmina Parengkuan.
Dengan Imam Bonjol, Kopral Apolos Minggu pun juga akrab. Baca juga: Hubert de Stuers, Komandan Belanda Pengagum Imam Bonjol Pemerintah kolonial bukan tidak mungkin menugasinya memantau “keamanan” Imam Bonjol.
Sebagai aparat kolonial, Apolos Minggu tidak memosisikan Imam Bonjol dan keluarganya seperti tawanan. Sjafnir Abu Nain menyebut, “hubungannya menjadi akrab dengan Tuanku Imam seperti hubungan seorang ayah dengan anak.” Sehingga, masih menurut Sjafnir Abu Nain, sampai sekarang keturunan Apolos Minggu mengaku bahwa mereka adalah keluarga Tuanku Imam Bonjol. Apolos Minggu bahkan dianggap pengawal setia Imam Bonjol dalam perjuangan.
Pembuangan di Minahasa tentu memberikan kesengsaraan tersendiri kepada Imam Bonjol. Ia harus berjalan kaki beberapa hari dari Manado ke Kombi. Lalu berjalan kaki lagi ke Lotta. Usia Imam Bonjol ketika mengalami pembuangan itu sekitar 70.(*)